Mendalami Sila Kelima: Menggiatkan Dialog Intrafaith Dan Interfaith

SOSIALISASI konsep keadilan sosial yang berciri khas keindonesiaan perlu terus ditingkatkan. Salah satu caranya ialah mengembangkan dialog intrafaith, yaitu dialog internal dalam sebuah agama dan dialog interfaith, yaitu dialog antar umat beragama. Mengapa ini penting, karena tema-tema keadilan seringkali secara serius muncul di kalangan tokoh agama. Masing-masing agama dan bahkan dengan mazhab atau aliran di dalamnya, mempunyai persepsi yang agak berbeda satu sama lain. Setiap kelompok mempunyai pemahaman dan penafsiran tentang konsep keadilan sosial meskipun secara esensi dan substansi memiliki lebih banyak persamaan satu sama lain.
Pembacaan dan pemaknaan ulang kitab suci para tokoh agama dalam perspektif keindonesiaan amat penting bagi bangsa yang plural seperti Indonesia ini. Kita sulit membayangkan adanya dialog interfaith tanpa keutuhan pemahaman atau saling pengertian kelompok-kelompok internal dari suatu agama. Seringkali ketegangan intrafaith lebih tinggi ketimbang ketegangan interfaith. Bahkan seringkali juga terjadi ketegangan dan konflik intrafaith berimbas kepada ketegangan interfaith. Paling sering terjadi konflik, baik intrafaith maupun interfaith, dipicu oleh persoalan definisi kebahasaan atau redaksional. Boleh jadi para pihak tidak bisa dengan mudah mengenyampingkan perbedaan dan konflik itu melalui kearifan membaca sebuak teks yang dipersoalkan. Sangat boleh jadi antara para pihak sesungguhnya tidak ada persoalan yang mendasar, yang ada hanya persoalan teknis pembacaan teks yang sudah terlanjur disakralkan dan ditabukan.
Dialog intrafaith dan interfaith ke depan, tidak lagi berhenti dari sudut pandang kebahasaan, tetapi mengacu kepada hakekat dan tujuan umum atau spirit universal kitab suci itu. Dalam beberapa hal yang bersifat semantik-ideologis bisa diselesaikan dengan cara agree in disagree. Sebab jika dialog masih berkutat dalam soal kebahasaan dan redaksional, masing-masing pihak bisa bisa mengklaim dirinya paling benar. Ke depan, dialog intrafaith dan interfaith sebaiknya lebih diarahkan kepada hal-hal yang bersifat praksis, hal-hal yang bersifat konkret dan bersentuhan langsung dengan kehidupan riil masyarak lapis bawah. Dialog konseptual biarlah menjadi domain para tokoh dan ilmuan agama. Akan tetapi masyarakat lapis bawah perlu dialog model lain, yang bukan mengangkat persoalan teoretis, yang tidak langsung menyentuh kehidupan mereka. Dialog bisa dikembangkan dalam arti berhubungan secara interaktif antara sesama komunitas intrafaith maupun interfaith di dalam menyelesaikan persoalah kerusakan lingkungan, menuntaskan fasilitas umum secara bersama-sama, memerangi kejahatan narkoba, pencurian, korupsi, dan persoalan pornografi, yang oleh semua agama memang melarangnya.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A
Imam Besar Masjid Istiqlal, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Rektor Perguruan Tnggi Ilmu Al-Qur’an
Foto