Menghargai Kelompok Minoritas

DI MASYARAKAT plural seperti Indonesia, penghargaan terhadap kelompok minoritas adalah prasyarat untuk mencapai Persatuan Indonesia. Tanpa penghargaan terhadap mereka sepertinya sulit mewujudkan sila ketiga, Persatuan Indonesia. Menghargai kelompok minoritas bukan hanya merupakan ajaran semula jadi ajaran Islam. Dasarnya banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Hadis, serta banyak dipraktekkan pada zaman Nabi dan sahabat. Satu contoh Safwan ibn Sulaiman meriwayatkan sebuah hadis yang menceritakan Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: “Barangsiapa yang menzalimi seorang muhad (orang yang pernah melakukan perjanjian damai) atau melecehkan mereka, membebani beban di luar kesanggupan mereka, atau mengambil harta tanpa persetujuan mereka maka saya akan menjadi lawannya nanti di hari kiamat”. (HRAbu Daud). Hadis ini luar biasa. Nabi dengan begitu tegas memberikan kepemihakan kepada kaum yang tertindas, terzalimi, dan terlecehkan, tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, agama, dan kepercayaan. Hadis ini sebenarnya sejalan dengan semangat ayat:
Walaqad karramna Bani Adam
(Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam). (Q.S. Al-Isra’/17:70).
Yang menarik dari hadis dan pengalaman sahabat Nabi di atas ialah pemberian bantuan dan pertolongan di dalam Islam ialah lintas agama dan budaya. Bantuan dan pertolongan dari umat Islam bukan hanya dialamatkan kepada kelompok muslim tetapi juga kepada kelompok non-muslim, sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi dan Khulafaur Rasyidin, khususnya Umar ibn Khaththab. Kemiskinan dan keterbelakangan itu tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam tetapi juga oleh kelompok agama lain. Siapapun mereka jika memerlukan bantuan dan pertolongan punya hak untuk dibantu, walaupun harus diambilkan dari kas Negara (Bait al-Mal), sebagaimana ditunjukkan oleh Umar ibn Khaththab. Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibahas tentang fikih minoritas. Salah satu kewajiban umat Islam terhadap umat manusia, tanpa membedakan agama dan etniknya, ialah menyelamatkan mereka dari lokasi musibah dan penderitaan. Sekiranya sudah menjadi mayat pun, tetap menjadi fardlu kifayah buat umat Islam untuk mengurus jenazah tersebut. Berdosa massal semua orang atau desa yang menyaksikan mayat hanyut di sungai tanpa mendamparkan lalu menguburkannya. Karena mayat itu sesungguhnya sudah milik Allah (al-mayyit haq Allah) yang harus diurus dan dimakamkan.
Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal & Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah
Foto Cyprianus Rowaleta