BERAGAMA berarti menginternalisasikan nilai-nilai ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, bersama keluarga, maupun sesama anggota masyarakat, tanpa membedakan etnik, kewarganegaraan, agama, dan percayaan. Perbedaan bukan alasan untuk merusak kedamaian. Sebaliknya perbedaan dan pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat diharapkan bisa menawarkan keindahan, seperti dilukiskan dalam ayat:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S. A-Hujurat/49:13).
Islam sebagai agama sangat menekankan perlunya memupuk kedamaian. Islam barasal dari kata aslama-yuslimu berarti memberi kedamaian. Agak ironis jika atas nama Islam lalu kita melakukan tindakan yang mencederai kedamaian, apalagi menciptakan rasa takut kepada orang lain. Tuhan memberi nama agamanya dengan Islam, bukan salam yang mengisyaratkan kementahan umat, bukan juga istislam yang mengisyaratkan ekslusivisme. Islam (bentuk ruba’i) lebih bernuansa moderat. Tanpa menambahkan kata tawassuthiyyah (moderat), sesungguhnya Islam sudah mengisyaratkan moderat. Kata tawassuthiyyah lebih berarti penekanan (muqayyad) dari pada berarti sifat (shifah).
Nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan sama-sama menekankan pentingnya kedamaian dan persaudaraan. Sangatlah tidak tepat jika atas nama keagamaan (Islam) dan kebangsaan (keindonesiaan) lantas suasana kedamaian terusik. Mestinya kata Islam dan keindonesiaan sama-sama memberikan nuansa kedamaian. Jika antara keislaman dan keindonesiaan berhadap-hadapan, apalagi berkonflik satu sama lain maka tentu sangat disayangkan. Jika hal itu terjadi pasti ada sesuatu yang salah. Pasti ada salah satu di antaranya atau kedua-duanya berubah pola. Kedua komponen utama bangsa ini selalu harus dirawat dengan cara garis demarkasinya dipelihara sedemikian rupa sehingga satu sama lain tidak terjadi ketegangan yang tidak akan menguntungkan siapun.
Banyak cara orang menampilkan rasa dan rasio keagamaannya di dalam masyarakat. Ada yang lebih menekankan aspek substansi ajaran agamanya diimplementasikan di dalam kehidupan masyarakat. Ada juga yang lebih menekankan aspek formal-logic ajaran agamanya terlebih dahulu harus diwujudkan guna mewadahi kepentingan umat beragama. Tentu ada juga orang yang secara simultan memulai penerapan substansi nilai-nilai ajaran agam pada dirinya seraya berjuang dan menunggu institusi dan pranata keagamaannya terwujud di dalam masyarakat.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, cara paling efektif menampilkan corak keagamaan kita ialah dengan cara-cara toleran, kooperatif, dan demokratis. Cara-cara seperti ini jangan diartikan cara paling rendah dan lemah seseorang menampilkan ajaran agamanya. Dengan kata lain, bukanlah orang yang beragama secara kuat diukur melalui kekuatan dan konsistensi seseorang memegang ajaran agamanya di dalam kehidupan masyarakat. Cara ini tidak peduli orang lain dan dalam keadaan apapun dan di manapun ia konsisten menampilkan aspek formal-logic ajaran agamanya. Seringkali kita menyaksikan orang menginterupsi sebuah pertemuan tanpa membedakan pertemuan penting atau tidak penting, demi untuk para peserta menyelenggarakan ibadah kemudian dilanjutkan sesudahnya. Orang tersebut tidak salah karena memang ada ajaran agama menganjurkan orang beribadah di awal waktu lebih baik, namun kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa terkadang ibadah ditangguhkan beberapa saat demi untuk menuntaskan sebuah pembicaraan penting. Memaksakan kehendak pribadi di tengah komunitas lain tanpa memilah kepentingannya merupakan cara yang kurang bijaksana.
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.
Imam Besar Masjid Istiqlal, Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, dan Rektor Intitut Perguruan Tinggi Ilmu Al-qur’an
Foto oleh Cyprianus Rowaleta